26 Juni, 2009

GONDANG NAPOSO


Gondang Naposo sering juga disebut Pesta Naposo, namun perbedaannya tidak semua pesta naposo selalu diiringi dengan gondang. Ada pesta naposo dilakukan saat akan dilakukan perkawinan. Biasanya pesta naposo seperti ini dilakukan sehari sebelum acara pesta pwrkawinan itu.

Gondang Naposo adalah sarana membina hubungan generasi muda dan pematangan jiwa kemandirian dan tidak jarang menjadi ajang penemuan jodoh.

Pada dasarnya acara gondang naposo tidak semata-mata urusan naposo saja. Dari tradisi lama, acara seperti ini justru diprakarsai oleh orang tua, dan pembiayaan digalang oleh penduduk sepempat.
Naposo belum bisa “pahundul” pargonsi menurut cara taradisi batak. Pargonsi hanya dapat “masisisean” dengan pengetua dari “suhut”.
Pargonsi yang diundang itu lebih dulu “masisisean” dengan “hasuhuton” apa gerangan mereka diundang?

Suhut menjawab ; Bahwa di bulan purnama ini mereka berniat memberikan peluang bergembira bagi anak-anak mereka, kiranya mereka semakin dewasa, mendapat jodoh yang belum ada jodoh, “manogu na di lambung, manghilap di nadao”, merapat ke yang dekat memanggil kepada yang jauh. Kiranya generasi ini menjadi kebanggaan bagi orang tua, “panunduti” di harajaon “panorusi” di “hagabeon” generasi pemimpin dan pengembangan (populasi) klan. Manumpak Mulajadi (Tuhan Yang maha Esa) “dilehon hahipason dohot hapantason” diberi kesehatan dan kebijaksanaan yang utuh.

Gondang Naposo biasanya dilakukan saat bulan purnama setelah usai upacara Asean Taon. Mangase taon biasanya setelah panen raya. Asean taon merupakan “hari raya” besar bagi orang Batak tempo dulu. Di berbagai daerah ada yang benyebut Pesta Bius, pasahat Horbo Bius, Patasumangot dll menurut kebiasaan penyebutannya.

Inilah acara mamuhai gondang atau “mambuat tua ni gondang” Pargonsi memainkan gondang sipitulili tanpa ada yang menari. Setelah itu para orangtua bersama naposo “hasuhuton” menari bersama. Setelah mambuat tua ni gondang selesai, acara diserahkan sepenuhnya kepada Naposo. Selama acara berlangsung. Para orang tua tetap melakukan pemantauan, agar tidak melenceng dari aturan etika kesopanan dan ketertiban.

Minimal acara gondang naposo dilaksanakan 2 hari. Hari pertama mambuat tua ni gondang dimulai sejak sore hari. Semua naposo “hasuhuton” menari sepuasnya disini dan kadang mengajak para orang tua menari bersama. Disini kesempatan khusus memberi berkat kepada anak-anak mereka, bergembira menari dengan tata kesopanan yang sudah baku. Mereka dimatangkan “manortor” yang baik, “maminta” gondang yang runtut.
Hari kedua adalah ; pagi hari, memeberi kesempatan kepada naposo “mamuhai” memulai acara tortor bagi mereka dan dilanjutkan kepada para undangan hingga siang dan sore.

Para undangan umumnya dari naposo tetangga “huta” dan luat yang lebih jauh. Luat yang lebih jauh umumnya yang ada hubungan kekerabatan dengan klan “hasuhuton” itu. Misalnya generesi muda dari klan “bona ni ari, boru natuatua” dan yang berkaitan dengan persaudaraan klan itu.

Setiap rombongan undangan memenuhi panggilan “manortor” selalu membawa persembahan kepada naposo hasuhuton yang disebut “santisanti” berupa uang yang dimasukkan dalam “tandok” kecil, atau dengan diletakkan diatas “pinggan” berisi beras. Naposo hasuhuton menyambutnya dengan tarian hingga lokasi menari. Santisanti diberikan dengan tarian oleh yang pandai menari, dan pihak naposo hasuhuton juga mempersiapkan sambutan dengan penari pilihan juga.

Bila naposo dari pihak bona ni ari atau “tulang” mempersilahkan para “iboto” mereka menari, bahwa itu pertanda kepada naposo “baoa” lakilaki dari hasuhuton untuk melirik, mengajak menari. Gaya menari naposo yang kecantol dan mendapat sambutan biasanya dilanjutkan dengan tari kedua. Disini langkah pematangan pemberian signal apakah saling menyukai. Dari tarian itu dapat dilihat yang menerima dan yang menolak. Bila diterima, maka sang pria menyematkan daun beringin di kepala “paribannya” itu. Begitu pula sebaliknya, pihak naposo hasuhuton akan memberikan kesempatan kepada para “iboto” mereka menari. Ini pemberian kesempatan kepada naposo pria dari klan “boru natua tua” atau amang boru untuk melampiaskan hasrat kasihnya kepada paribannya dengan gaya tarian yang memukau dan menaklukkan.

Bila kasih terjalin, cinta tersambung, maka pihak orang tua yang terus mengamati akan mencatatkan dalam agenda mereka dan melakukan penelusuran lanjutan. Para orang tua tidak bisa membiarkan kisah itu berjalan sendiri dan itu menjadi tanggungjawab yang harus diahkiri baik atau buruk.

Peristiwa seperti ini juga dapat terjadi pada saat pesat “turun” Sebuah upacara pemakaman kembali tulang belulang ke “batu napir” dalam tradisi batak lama.

Bila upacara selesai sampai sore hari kedua, maka kembali kepada orangtua “hasuhuton” untuk menutup acara. Mereka adalah “sihorus nagurgur siambai nalonga” memenuhi yang kurang memaafkan yang berlebih dari semua acara yang dilakukan naposo tadi.

Kemampuan berstruktur, kematangan jiwa, ekspresi batin, lobby, diplomasi, kepemimpinan, dan pemupukan persaudaraan sejati tertempa melalui gondang naposo yang mengacu kepada kearifan leluhur. Dan itu sudah dilakukan sejak lama, konon lama sudah ditinggalka

05 Juni, 2009

Pernikahan Batak




Sebenarnya tulisan ini ada komentar dari lae Rivai Sihombing (sebagai penghargaan saya terhadap komentar ini sengaja linknya saya set rel=”friend”) mengenai Pernikahan adat batak yang di posting di artikel Orang Batak yang Menikah Tanpa Adat Batak

Dalihan Natolu : Somba Marhula-hula,Elek Marboru, Manat Mardongan Tubu

berikut lengkapnya......

Ketika saya hendak menikahpun, sebagai orang pria Batak – saya langsung dihadapkan dengan segala bentuk adat istiadat Batak. Saya sempat dibuat pusing tujuh keliling. Yang terbayang di hadapan saya adalah biaya pesta yang membengkak, di luar dugaan!. Saya sempat menolak mentah-mentah segala bentuk aturan adat istiadat Batak, yang saya rasa tidak perlu karena saya merasa tidak penting!. Kalau boleh jujur, alasan yang saya buat-buat adalah tidak sesuai dengan keyakinan / prinsip saya. Saya keras sekali menentang semua prosesi adapt Batak. Alasan yang saya buat-buat ketika itu sangat bertentangan dengan ajaran Injil (tidak sesuai dengan ajaran Kristus/Kristen). Padahal, alasan sebenarnya adalah soal biaya dan biaya. Setelah berkunsultasi kesana-kemari dengan orang tua dari kalangan orang Batak atau tidak. Dan saya tidak lupa berdoa untuk diturunkan pencerahan pikiran.

Entah kenapa waktu itu saya hanya pasrah saja. Saya serahkan pada TUHAN saja mana yang terbaik. Akhirnya saya setuju saja menyerahkan semua prosesi pernikahan saya dilakukan melalui prosesi adat Batat (Mangadati) secara penuh (adat na gok). Yang penting adalah niat saya yang tulus, kalau itu adalah jalan yang terbaik diberikan TUHAN. Dan tampa disangka-sangka, rejeki / order saya ada saja untuyk menutupi semua biaya pesta adat itu. Dan saya akhirnya menyadari apa makna adat Batak tersebut bagi pernikahan saya. Itu yang terpenting akan saya bagi bagi banyak orang.

Persoalannya sekarang, ada banyak pria di luar suku Batak atau pria Batak sekalipun kurang memahami adat tersebut. Atau banyak mereka tidak mau tahu atau peduli. Atau tidak mau direpotkan dengan semua prosesi adat Batak yang dianggap merepotkan/berbeli-belit! Yang terjadi sebenarnya adalah mereka tidak menerima semua prosesi adat Batak dalam pernikahan, bukan karena alasan pertentangan keyakinan!!!! Sekali lagi bukan!!!! Tetapi karena mereka tidak mau repot dan tidak mau banyak keluar biaya dalam pernikahan mereka. Mereka ketakutan keluar biaya banyak!!! Itu adalah alasan sebenarnya!!! Bukan karena keyakinan!!!! Apakah semua adat istiadat Batak sesuai dengan firman TUHAN. Saya katakana ya….ya…dan ya…

Tuhan akan memberkati pernikahan tersebut selamanya. Jika hubungan komunitas sosial dengan keluarga terdekat juga ikut merestui dan mendoakannya! Banyangkan jika pernikahan seorang wanita atau pria Batak TIDAK dihadiri salah satu orang tuanya atau familinya. Bayangkan betapa sakit hatinya orang tua si mempelai perempuan/laki-laki tersebut! Seperti pernah kasus di keluarga saya.

“Ito saya (saudara perempuan anak adik ayah saya) akan menikah dengan seorang pria di luar suku Batak, seorang pendeta dari golongan Kristen Kharismatik dari suku Indonesia timur. Kedua orang tuanya, dan famili tidak setuju atau menghadiri pernikahannya karena tidak disetujui orang tuanya karena pernikahan mereka tidak dilakukan secara prosesi adat Batak. Ditambah, pengaturan tanggal pernikahan mereka sendiri yang sudah mereka atur tampa pemberitahuan / persetujuan dari kedua orang tuanya. Saya sedih melihat adik ayah saya. Dia semakin trus stess memikirkan anak perempuannya yang sangat dicintainya. Bahkan nyaris adik ayah sayta terkena stroke. Tetapi pernikahan mereka tetap saja dilakukan tampa dihadiri keluarga adik bapak saya. Sangat tragis dan menyedihkan…!!! Apakah ini pernikahan yang diberkati TUHAN!

Jelas ini sangat bertentangan TUHAN! Saya tidak mengerti, mereka sangat dekat dengan TUHAN dan mengaku – ngaku sebagai hamba TUHAN yang kudus bertekun dalam doa, berani melakukan seperti ini. Tetapi justru sangat menyakitkan hati kedua hati orang tuanya! Apakah seperti ini pernikahan yang diberkati TUHAN???? Mana penghormatan terhadap orang tua!?
Sebenarnya, setelah saya alami semua prosesi pernikahan adat Batak pada pernikahan saya. Yang saya rasakan sekarang ini dan seterusnya adalah semua prosesi adapt batak tujuannya adalah bentuk dari penghormatan dan cinta kasih dari kedua orang tua, saudara sekandung, dan keluarga dekat, dan masyarakat sekitarnya. Semua prosesi adat istiadat BatakBatak tidaklah bertentangan dengan ajaran Kristen!!! Justru tujuannya adalah dalam rangka mempererat hubungan cinta kasih dan kepedulian kedua orang tua/keluarga, saudara, kerabat dekat dan masyarakats sekitarnya kepada anaknya yang sangat dicintai. Simbol ini diwakli dengan prosesi pemberian ulos. Dan itulah yang saya alami! Apakah hal itu benar-benar bertentangan dengan firman TUHAN seperti yang dikatakan banyak aliran Kristen kharismatik, yang mengatakan semua prosesi adat adalah bentuk “upacara berhala”. Sangat aneh…Bagi saya itu hanya alasan yang dibuat-buat mereka, karena tidak mau peduli atau tidak mau pusing atau direpotkan dengan semua prosesi adat Batak, dan tidak mau bersosialisi dengan kedua kerabat keluarga dan masyarakat sekitarnya. Ya.Mungkin juga karena ketakutan keluar biaya besar! Silahkan anda pikirkan. Terima kasih di posting di artikel Orang Batak yang Menikah Tanpa Adat Batak

SINAMOT


Sekilas saya cerita mengenai sejarah/filosofi asal-muasal “SINAMOT” Pada dasar pengertianya
Boli=Tuhor jadi kalau dibahasa indonesiakan, ya…HARGA. Tapi beda dgn artian harga sesuatu benda, yg harganya ditentukan, sehingga semua orang berhak atau dapat memilikinya selama dia dapat memenuhi harga tsb.

Konon ceritanya dulu pola hidup pada umumnya orang Batak yg tinggal di kampung(bonapasogit), karena rutinitas, pekerjaan sehari-hari dan yg menjadi penghasilan utk kesinambungan hidup adalah BERTANI (Marhauma). Malangnya (maaf bukan merendahkan) hal tsb yg paling dominan digeluti Ibu-ibu/Perempuan sehingga persepsi orang Batak khususnya(dijaman itu), ya..bahwa perempuan urusan dalam Rumah Tangga (ya..lihat aja KTP Ibu-ibu yg tidak punya pekerjana/professi, kalau dulu IKUT SUAMI sekarang masih mendingan IBU RUMAH TANGGA). Ini secara otomatis menjadi budayakarena kultur. Nah..konon ceritanya katakanlah si-A(cewek) dapat jodoh/kawin dgn si-B(cowok), artinya si-A ikut si-B. Karena si-A sudah ikut si-B, sehingga jumlah pekerja di sawah berkurang karena kepergian si-A. Disini pihak si-B wajib/harus memberikan sebagai pengganti ke pihak si-A terserah Ce/Co. Istilahnya
jolma ganti ni jolma(manusia/orang).

Mungkin karena proces tsb kurang mengena sasaran, dimana penggantinya tidak sesuai dgn kapasitas yg diganti, tak lama kemudian dirobah menjadi “GAJAH” (dianggap sebagai pengganti). Lama kelamaan makin langka diganti lagi dgn istilah “GAJAH TOBA”(Horbo). Ini mungkin berlangsung agak lama, kalau ngak salah dijaman Soekarno, sehingga disaat itu banyak pemuda Batak khususnya menjadi PANGLATU (Panglima Lajang Tua). Di tahun 70-an jamannya berobah ke rejim Soeharto, dan banyak perobahan yang bisa diterima masyarakat luas waktu itu. Tidak ketinggalan process budaya yg menyangkut Adat-Istiadat kitapun ikut arus dan adaptasi, sehingga disaat itulah pengurangan Panglatu, karena ada satu kelonggaran ; “NA MANGULA PE NA MASUK ADAT DO”. Ada lagunya yg dinyanyikan duet Joel Simorangkir & Charles Simbolon, judulnya LUANHON DAMANG (kurang lebih). Jompok hata dohonon(singkatnya), kalau pernah ikut Marhata Sinamot, pihak Paranak biasanya meminta ke pihak Parboru, supaya jangan terlalu memberatkan sebarapa Sinamot yang akan disampikan. Jadi sebelum bentuk Sinamot menjadi bilangan/angka dalam bentuk rupiah, pihak Parboru menyampaikan ;
Antong molo na naeng pasahat somba ni uhum, somba ni adat, na gabe si palas roha nami na ma
hamu songon Sinamot ni boru nami, goari hamu sian ni ; sadia godang ma horbo, piga lombu, piga hoda, piga rantiti mas jala sadia godang ringgit sitio soara.

(Dimana permbicaraan sudah mengarah ke Sinamot, jadi pihak Parboru bertanya/menyampaikan ke pihak Paranak ; berapa banyak Kerbau, Lembu, Kuda,Mas dan uang, dulu uang berbentuk logam dan ada yg satuannya ringgit yg bunyinya agak nyaring…?).

Sesuai dgn sikon pihak paranak menjawab, dimana bentuk-bentuk permitaan tadi sudah agak sulit mengumnpulkan sehingga tidak terpenuhi, pihak Paranak menminta supaya dibulatkan dalam bentuk ringgit sitio soara(rupiah). Dengan proces yg tadi(mohon kalau kurang pas) itulah yang kita alami sekarang yg disebut”SINAMOT”. Kira-kira dalam pengertian saya justru sudah lebih simpel dan praktis.

from Kaskus.com